Petani tembakau selama ini selalu dijadikan alasan untuk menggagalkan
peraturan pengetatan promosi dan konsumsi rokok. Bahkan tak jarang para
petani tembakau dimobilisasi untuk melakukan demonstrasi untuk menolak
kebijakan anti rokok.
Kenyataannya, para petani tembakau kurang mendapat perhatian yang layak dari industri rokok dibandingkan jumlah keuntungan yang dihasilkan dari penjualan rokok. Padahal dalam setahun saja, pemasukan pemerintah dari cukai rokok bisa mencapai Rp 70 triliun. Maka bisa dibayangkan berapa banyak omzet yang diperoleh perusahaan rokok per tahunnya.
Dan yang lebih menyedihkan, belakangan ini justru perusahaan rokok lebih memilih tembakau impor dibanding tembakau lokal untuk menghasilkan produknya.
Kenyataannya, para petani tembakau kurang mendapat perhatian yang layak dari industri rokok dibandingkan jumlah keuntungan yang dihasilkan dari penjualan rokok. Padahal dalam setahun saja, pemasukan pemerintah dari cukai rokok bisa mencapai Rp 70 triliun. Maka bisa dibayangkan berapa banyak omzet yang diperoleh perusahaan rokok per tahunnya.
Dan yang lebih menyedihkan, belakangan ini justru perusahaan rokok lebih memilih tembakau impor dibanding tembakau lokal untuk menghasilkan produknya.
"Tahun 1990, total impor
tembakau di Indonesia adalah18%. Pada tahun 2010 jumlahnya meningkat
menjadi 50% dari total konsumsi tembakau," kata Abdillah Salam, SE,
MSE., Peneliti dari Lembaga Demografi FE UI dalam acara diskusi mengenai
Konsumsi Rokok Mengancam Bonus Demografi di Hotel Atlet Century Park
Jakarta, Kamis (14/6/2012).
Abdillah menuturkan, seharusnya
peningkatan jumlah lahan meningkat seiring kenaikan permintaan akan
rokok. Tapi nyatanya jumlahnya malah menurun. Kalau pemerintah ingin
mengambil kebijakan ekstrem, harusnya dilarang impor tembakau.
Di Indonesia, sentra tembakau banyak berpusat di Jawa Tengah, JawaTimur dan Nusa Tenggara Barat.
Bukti
bahwa industri rokok tidak berpihak kepada petani bisa dilihat dari
penentuan harga. Selama ini, yang menentukan harga jual tembakau adalah
perusahaan rokok dan petani harus patuh pada ketentuan dari perusahaan.
Ketika
petani sedang panen, harga tembakau cenderung turun. Perusahaan
beralasan gudangnya sudah penuh sehingga petani terpaksa mau tak mau
harus mengikuti harga yang diberikan perusahaan.
"Saya pernah
mewawancarai petani pada tahun 2010. Ia telah menanam tembakau sejak
tahun 2002 sampai 2008. Selama rentang waktu itu, ia hanya untung waktu
tahun 2003. Tapi masalahnya karena mereka tak punya alternatif lain,"
kata Abdillah.
Peraturan pemerintah yang ada juga nampaknya tidak
melindungi petani. Misalnya, pemerintah daerah selalu mendapat jatah
dana bagi hasil cukai sebesar 2% dari penerimaan cukai. Jumlahnya
bervariasi tergantung cukai yang disetorkan perusahaan rokok di
masing-masing daerah. Secara keseluruhan, dana bagi hasil cukai ini
adalah sebanyak Rp 2 triliun. Di Indonesia, ada 20 propinsi yang
mendapat dana bagi hasil ini.
Seharusnya, dana sebesar itu bisa
digunakan untuk menyewa atau membuat gudang penyimpanan untuk para
petani. Tetapi nyatanya tidak. Petani harus mengupayakan sendiri gudang
penyimpanan tembakau.
Berdasarkan UU no. 39 tahun 2007 pasal 66,
dana bagi hasil cukai rokok ini hanya boleh dialokasikan untuk hal-hal
sebagai berikut:
- Meningkatkan kualitas input tembakau
- Membina industri tembakau
- Untuk kesejahteraan sosial
- Untuk sosialisasi ketentuan cukai
- Penegakan hukum tentang rokok
"Idealnya,
dana bagi hasil cukai digunakan untuk pencegahan dan membina konsumen.
Misalnya ada perokok berat yang sakit akibat merokok, pembelian
alat-alat kesehatan untuk mengobati penyakit akibat rokok atau untuk
kampanye bahaya merokok. Tapi nyatanya tidak," kata Abdillah.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar